Thursday, March 8, 2012

Tuli Bisu



MEDAN (Waspada): Dipekirakan ada seratus bayi setiap tahunnya lahir dengan kondisi tuli bisu. Jika ini tidak diketahui lebih awal, maka sepanjang hidupnya akan banyak generasi penerus mengalami kebisuan dan ketulian.
Untuk itu, perlu dilakukannya scrinning atau pemeriksaan dengan alat BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) atau alat pengukur respon batang otak dan kuping terhadap suara kepada bayi yang baru lahir.
“Dari WHO menyebutkan, satu dari seribu bayi yang lahir menderita tuli bisu. Di Sumut, ada seratus ribu lebih bayi yang lahir pertahun. Berarti, untuk Sumut saja pertahunnya ada seratus lebih bayi yang lahir menderita tuli bisu. Makanya, murid Sekolah Luar Biasa itu bertambah terus,” kata Ketua Komite Daerah Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komda PGPKT) Sumatera Utara Prof. DR. Dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL (K) kepada Waspada, Kamis (25/1).
RS Enggan Lakukan Skrinning
Dia menuturkan, kebanyakan orangtua baru mengetahui atau menyadari anaknya bisu dan tuli setelah berumur 3 tahun. “Saat lahir orangtua tidak tahu itu, bayinya mengalami tuli bisu atau tidak. Orang tua baru sadar ketika sudah berumur 3 tahun, kok nggak pernah ngomong-ngomong ini,” katanya.
Menurutnya, banyaknya kasus tuli bisu yang baru ditemui setelah berumur 3 tahun, bukan karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri atau melakukan skrinning, tetapi banyak rumah sakit yang tidak mau melakukan skrinning terhadap bayi.
“Saya sudah sering berteriak-teriak meminta tolong agar bayi-bayi yang lahir di rumah sakit untuk diskrinning. Cuma Rp.60 ribu-nya untuk satu bayi yang akan diskrinning. Tapi, karena biaya mereka pakai paket, tak mau mereka melakukannya. Padahal, pasien yang bayar. Tidak mungkin pasien itu tidak mau, jika bayinya diskrinning dengan alat BERA tadi,” jelasnya.
Dikatakannya, dari sekian banyak rumah sakit di Sumut ini, hanya RSUP H. Adam Malik yang sudah mau melakukan skrinning pada bayi. “Saya sudah suruh Walikota buat surat edaran untuk rumah sakit agar melakukan skrinning terhadap bayi, tapi tidak dijalankan juga. Sudah seluruh rumah sakit saya kasih, bahkan saya sendiri yang kasih edarannya itu, tapi tetap juga tidak dijalankan,” katanya.
Diakuinya, alat BERA untuk menskrinning kuping tersebut harganya berkisar Rp.100 juta, tapi bagi rumah sakit yang jumlah pasien ibu melahirkan banyak alat tersebut sangat berguna. “Harganya berkisar Rp. 100 juta, tapi untuk rumah sakit sebesar itu, apalah artinya uang segitu,” katanya menyesalkan.
Padahal, lanjutnya, ketika bayi baru lahir sudah terdeteksi mengalami tuli bisu, maka ketika besarnya dia bisa berbicara atau berkomunikasi layaknya manusia normal, meski memakai alat bantu pendengaran. “Yang susahnyakan jika diketahui sudah berumur 2 atau 3 tahun, karena pemulihannya tidak seperti yang diharapkan.”
Faktor Penyebab
Mengenai penyebab bayi lahir dengan tuli bisu, Delfitri Munir menerangkan, kondisi itu bisa terjadi akibat faktor genetik (keturunan), “Faktor pencetus lain adalah akibat dari perkawinan antar kerabat yang terlalu dekat, seperti antar sepupu kandung, sehingga terjadi mutasi gen yang tidak wajar. Faktor lainnya, karena adanya infeksi akibat virus pada ibu hamil, terutama di masa 3 bulan pertama, seperti virus Toxoplasmosis, Herpes atau Siphylis,” katanya.
Ditambahkannya, tahun ini Komda PGPKT Sumut akan melatih bidan-bidan desa untuk melakukan skrinning dengan alat yang bisa dibuatnya sendiri. “Makanya kita minta dukungan Pempropsu, Dinkes Sumut dan ibu-ibu PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga),” katanya.
Sementara itu, Kadis Kesehatan Sumut dr. Candra Syafei SpOG meminta puskesmas dan rumah sakit untuk meningkatkan skrinning terhadap kasus tuli bisu ini. “Dan bagi pusat kedokteran dan perkumpulan dokter THT supaya berperan bersama pemerintah membangun kapasitas para calon dokter dan dokter untuk skrinning ketulian dan kebisuan ini,” tegasnya. (h02)

No comments:

Post a Comment