MEDAN (Waspada): Dipekirakan ada seratus bayi setiap
tahunnya lahir dengan kondisi tuli bisu. Jika ini tidak diketahui lebih awal, maka
sepanjang hidupnya akan banyak generasi penerus mengalami kebisuan dan
ketulian.
Untuk itu, perlu dilakukannya scrinning atau
pemeriksaan dengan alat BERA (Brainstem Evoked
Response Audiometry) atau alat pengukur respon batang otak dan kuping
terhadap suara kepada bayi yang baru lahir.
“Dari WHO menyebutkan, satu dari seribu bayi yang
lahir menderita tuli bisu. Di Sumut, ada seratus ribu lebih bayi yang lahir
pertahun. Berarti, untuk Sumut saja pertahunnya ada seratus lebih bayi yang
lahir menderita tuli bisu. Makanya, murid Sekolah Luar Biasa itu bertambah
terus,” kata Ketua Komite Daerah Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan
Ketulian (Komda PGPKT) Sumatera Utara Prof. DR. Dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL
(K) kepada Waspada, Kamis (25/1).
RS Enggan Lakukan Skrinning
Dia menuturkan, kebanyakan orangtua baru mengetahui
atau menyadari anaknya bisu dan tuli setelah berumur 3 tahun. “Saat lahir
orangtua tidak tahu itu, bayinya mengalami tuli bisu atau tidak. Orang tua baru
sadar ketika sudah berumur 3 tahun, kok nggak pernah ngomong-ngomong ini,”
katanya.
Menurutnya, banyaknya kasus tuli bisu yang baru
ditemui setelah berumur 3 tahun, bukan karena kurangnya kesadaran masyarakat
untuk memeriksakan diri atau melakukan skrinning, tetapi banyak rumah sakit
yang tidak mau melakukan skrinning terhadap bayi.
“Saya sudah sering berteriak-teriak meminta tolong
agar bayi-bayi yang lahir di rumah sakit untuk diskrinning. Cuma Rp.60 ribu-nya
untuk satu bayi yang akan diskrinning. Tapi, karena biaya mereka pakai paket,
tak mau mereka melakukannya. Padahal, pasien yang bayar. Tidak mungkin pasien
itu tidak mau, jika bayinya diskrinning dengan alat BERA tadi,” jelasnya.
Dikatakannya, dari sekian banyak rumah sakit di Sumut
ini, hanya RSUP H. Adam Malik yang sudah mau melakukan skrinning pada bayi.
“Saya sudah suruh Walikota buat surat edaran untuk rumah sakit agar melakukan
skrinning terhadap bayi, tapi tidak dijalankan juga. Sudah seluruh rumah sakit
saya kasih, bahkan saya sendiri yang kasih edarannya itu, tapi tetap juga tidak
dijalankan,” katanya.
Diakuinya, alat BERA untuk menskrinning kuping
tersebut harganya berkisar Rp.100 juta, tapi bagi rumah sakit yang jumlah
pasien ibu melahirkan banyak alat tersebut sangat berguna. “Harganya berkisar
Rp. 100 juta, tapi untuk rumah sakit sebesar itu, apalah artinya uang segitu,”
katanya menyesalkan.
Padahal, lanjutnya, ketika bayi baru lahir sudah
terdeteksi mengalami tuli bisu, maka ketika besarnya dia bisa berbicara atau
berkomunikasi layaknya manusia normal, meski memakai alat bantu pendengaran. “Yang
susahnyakan jika diketahui sudah berumur 2 atau 3 tahun, karena pemulihannya
tidak seperti yang diharapkan.”
Faktor Penyebab
Mengenai penyebab bayi lahir dengan tuli bisu,
Delfitri Munir menerangkan, kondisi itu bisa terjadi akibat faktor genetik
(keturunan), “Faktor pencetus lain adalah akibat dari perkawinan antar kerabat
yang terlalu dekat, seperti antar sepupu kandung, sehingga terjadi mutasi gen
yang tidak wajar. Faktor lainnya, karena adanya infeksi akibat virus pada ibu
hamil, terutama di masa 3 bulan pertama, seperti virus Toxoplasmosis, Herpes
atau Siphylis,” katanya.
Ditambahkannya, tahun ini Komda PGPKT Sumut akan
melatih bidan-bidan desa untuk melakukan skrinning dengan alat yang bisa
dibuatnya sendiri. “Makanya kita minta dukungan Pempropsu, Dinkes Sumut dan
ibu-ibu PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga),” katanya.
Sementara itu, Kadis Kesehatan Sumut dr. Candra Syafei
SpOG meminta puskesmas dan rumah sakit untuk meningkatkan skrinning terhadap
kasus tuli bisu ini. “Dan bagi pusat kedokteran dan perkumpulan dokter THT
supaya berperan bersama pemerintah membangun kapasitas para calon dokter dan
dokter untuk skrinning ketulian dan kebisuan ini,” tegasnya. (h02)
No comments:
Post a Comment