PAGI indah yang selalu dilalui belasan siswa TK Yayasan Buddhis Bodhicitta Medan, seketika berubah menjadi malapetaka. Sabtu (3/3) kemarin, tidak ada lagi wajah ceria diraut wajah mereka, yang ada hanya air mata. Tidak ada canda dan tawa, yang ada rasa perih tak tertahankan dari luka yang ada. Kini, mereka tengah berjuang untuk dapat sembuh dan kembali ke sekolahnya.
Di ruang tunggu keluarga pasien lantai II RS. Columbia
Asia Medan, tampak seorang ibu Ame, 30, sedang termenung memikirkan nasib anak
semata wayangnya yang kini berada di Ruang ICU. Anaknya adalah Yunita, 5, warga
Jl. Buru Perindu Mandala By Pass Medan. Satu dari 17 pasien yang menjadi korban
tabrak massal oleh gurunya sendiri.
“Saya hanya ingin anak saya sembuh dan bisa kembali ke
sekolahnya. Tapi, saat ini dia (Yunita-red) belum bisa diajak ngomong, saya
takut terjadi apa-apa sama anak saya. Saya hanya bisa menangis menatap wajah
polosnya,” ujarnya singkat saat diwawancari sejumlah wartawan media massa,
Sabtu (3/3).
Jumat (2/3) kemarin, tidak ada firasat buruk atau yang
aneh-aneh dirasakan Ame. “Saya nggak ada firasat buruk, nggak ada yang
aneh-aneh,” katanya lagi sembari menggelengkan kepala.
Pantauan Waspada
di Ruang ICU, sejumlah peralatan medis ‘melilit’ tubuh gadis mungil ini. satu
persatu, baik guru, anggota dewan dan keluarga menatapi wajah polos dan tak
berdosa itu. Ada tak kuasa melihatnya, hingga meneteskan air mata.
Kehilangan Jari
Di ruang lain, nasib serupa juga dialami para siswa
lainnya. Bahkan, Wilbert, 12, siswa kelas 1 SMP di Yayasan Buddhis Bodhicitta
Medan harus merelakan jari manis ditangan kirinya diamputasi.
“Waktu itu saya sedang duduk-duduk dibangku koperasi
sekolah bersama teman-teman, tiba-tiba mobil sudah menabrak saja. Saya nggak
begitu ingat kejadiannya, yang pasti saya hanya terduduk saja. Saya juga nggak
tahu kenapa jari saya tiba-tiba berdarah, rupanya putus,”ungkapnya terbata-bata
sambil menahan sakit.
Ayah Wilbert, A Kuang, 50, warga selam VI Mandala
Medan mengaku, mengetahui kejadian yang menimpa anak satu-satunya itu dari
isterinya. A Kuang sendiri mengaku, shock
mendengar kabar tersebut, apalagi jari manis ditangan sebelah kiri anaknya
putus.
“Begitu mendapat kabar, saya langsung kesekolah, tapi
sudah tidak ada. Lalu, saya langsung kerumah sakit. Sekarang jari manis anak
saya yang putus sudah ditangani,” ungkapnya.
Pelajaran Bagi Pemko Medan
Sabtu (3/3) pagi itu juga terlihat Wakil DPRD Sumut
Sigit Pramono Asri menjenguk korban tabrak massal di RS. Columbia Asia. Terkait
kasus ini, Sigit mengatakan, kasus ini merupakan pelajaran bagi pemilik sekolah
dan terutama Pemko Medan agar memberikan peraturan kepada pengelola atau
lembaga pendidikan agar menyediakan dan memisahkan antara tempat
bermain/halaman sekolah dengan parkir.
Sigit juga mengoreksi institusi kepolisian yang
mengeluarkan Surat Ijin Mengemudi. “Harus selektiflah mengeluarkan SIM.
Artinya, pemberian SIM tersebut harus diberikan kepada mereka yang secara fisik
dan mentalnya sudah siap diberi kepercayaan untuk mengendarai kendaraan,”
imbuhnya sembari menyarankan agar pemilik SIM diuji kembali setiap 3 tahun
sekali, apakah masih layak atau tidak membawa kendaraan.
Kini, seluruh korban dalam keadaan stabil. Bahkan, ada
dua orang siswa yang hanya mengalami luka lecet sudah diperbolehkan pulang.
“Kondisi pasien pada umumnya stabil. Begitu juga dengan dua orang yang di ICU
stabil dan sudah sadarkan diri. Sedangkan yang patah tulang sudah ditangani oleh
dokter orthopedi. Secara keseluruhan seluruh pasien ditangani oleh dokter
spesialis anak, bedah, neurologi, penyakit dalam dan psikolog. Karena dari
mereka mengalami trauma,” demikian Dokter Medical Service RS. Columbia Asia dr.
Kianto Nazar. (h02)
No comments:
Post a Comment