Thursday, March 8, 2012

Kasus Guru Tabrak Murid

Menangis Melihat Wajah Polos Dan Tak Berdosa Itu Berbaring

PAGI indah yang selalu dilalui belasan siswa TK Yayasan Buddhis Bodhicitta Medan, seketika berubah menjadi malapetaka. Sabtu (3/3) kemarin, tidak ada lagi wajah ceria diraut wajah mereka, yang ada hanya air mata. Tidak ada canda dan tawa, yang ada rasa perih tak tertahankan dari luka yang ada. Kini, mereka tengah berjuang untuk dapat sembuh dan kembali ke sekolahnya.
Di ruang tunggu keluarga pasien lantai II RS. Columbia Asia Medan, tampak seorang ibu Ame, 30, sedang termenung memikirkan nasib anak semata wayangnya yang kini berada di Ruang ICU. Anaknya adalah Yunita, 5, warga Jl. Buru Perindu Mandala By Pass Medan. Satu dari 17 pasien yang menjadi korban tabrak massal oleh gurunya sendiri.

“Saya hanya ingin anak saya sembuh dan bisa kembali ke sekolahnya. Tapi, saat ini dia (Yunita-red) belum bisa diajak ngomong, saya takut terjadi apa-apa sama anak saya. Saya hanya bisa menangis menatap wajah polosnya,” ujarnya singkat saat diwawancari sejumlah wartawan media massa, Sabtu (3/3).
Jumat (2/3) kemarin, tidak ada firasat buruk atau yang aneh-aneh dirasakan Ame. “Saya nggak ada firasat buruk, nggak ada yang aneh-aneh,” katanya lagi sembari menggelengkan kepala.
Pantauan Waspada di Ruang ICU, sejumlah peralatan medis ‘melilit’ tubuh gadis mungil ini. satu persatu, baik guru, anggota dewan dan keluarga menatapi wajah polos dan tak berdosa itu. Ada tak kuasa melihatnya, hingga meneteskan air mata.
Kehilangan Jari
Di ruang lain, nasib serupa juga dialami para siswa lainnya. Bahkan, Wilbert, 12, siswa kelas 1 SMP di Yayasan Buddhis Bodhicitta Medan harus merelakan jari manis ditangan kirinya diamputasi.
“Waktu itu saya sedang duduk-duduk dibangku koperasi sekolah bersama teman-teman, tiba-tiba mobil sudah menabrak saja. Saya nggak begitu ingat kejadiannya, yang pasti saya hanya terduduk saja. Saya juga nggak tahu kenapa jari saya tiba-tiba berdarah, rupanya putus,”ungkapnya terbata-bata sambil menahan sakit.
Ayah Wilbert, A Kuang, 50, warga selam VI Mandala Medan mengaku, mengetahui kejadian yang menimpa anak satu-satunya itu dari isterinya. A Kuang sendiri mengaku, shock mendengar kabar tersebut, apalagi jari manis ditangan sebelah kiri anaknya putus.
“Begitu mendapat kabar, saya langsung kesekolah, tapi sudah tidak ada. Lalu, saya langsung kerumah sakit. Sekarang jari manis anak saya yang putus sudah ditangani,” ungkapnya.

Pelajaran Bagi Pemko Medan
Sabtu (3/3) pagi itu juga terlihat Wakil DPRD Sumut Sigit Pramono Asri menjenguk korban tabrak massal di RS. Columbia Asia. Terkait kasus ini, Sigit mengatakan, kasus ini merupakan pelajaran bagi pemilik sekolah dan terutama Pemko Medan agar memberikan peraturan kepada pengelola atau lembaga pendidikan agar menyediakan dan memisahkan antara tempat bermain/halaman sekolah dengan parkir.
Sigit juga mengoreksi institusi kepolisian yang mengeluarkan Surat Ijin Mengemudi. “Harus selektiflah mengeluarkan SIM. Artinya, pemberian SIM tersebut harus diberikan kepada mereka yang secara fisik dan mentalnya sudah siap diberi kepercayaan untuk mengendarai kendaraan,” imbuhnya sembari menyarankan agar pemilik SIM diuji kembali setiap 3 tahun sekali, apakah masih layak atau tidak membawa kendaraan.
Kini, seluruh korban dalam keadaan stabil. Bahkan, ada dua orang siswa yang hanya mengalami luka lecet sudah diperbolehkan pulang. “Kondisi pasien pada umumnya stabil. Begitu juga dengan dua orang yang di ICU stabil dan sudah sadarkan diri. Sedangkan yang patah tulang sudah ditangani oleh dokter orthopedi. Secara keseluruhan seluruh pasien ditangani oleh dokter spesialis anak, bedah, neurologi, penyakit dalam dan psikolog. Karena dari mereka mengalami trauma,” demikian Dokter Medical Service RS. Columbia Asia dr. Kianto Nazar. (h02)

No comments:

Post a Comment