Hebohnya Mencari Orang yang Tepat
Menduduki Sumut 1
SATU persatu, nama-nama calon gubernur Sumut periode
2013 – 2018 mulai mencuat. Bahkan, lembaga survei ‘jadi-jadian’ pun mulai bermunculan
jelang pilkada ini. Entah benar entah tidak mereka melakukan survei, tapi yang
pastinya mereka mengaku professional dan mengklaim independen.
Saat ini, bukan jadi rahasia umum lagi, jika sudah ada
bakal calon Gubsu yang curi start
untuk berkampanye dan mulai gencar-gencarnya turun ke masyarakat. Fakir miskin
pun tiba-tiba mulai diperhatikan dan menjadi sasaran untuk menyalurkan bantuan.
Sejumlah bakti sosial atau program yang menyentuh masyarakat menengah ke bawah pun
dilakukan. Jangan-jangan, dukun pun mulai kebanjiran job saat ini.
Para tokoh agama, pendidikan, ormas dan OKP pun juga mulai
latah memperbincangkan sosok orang yang pantas dan layak menjadi gubernur ini.
Hasilnya, muncul sejumlah kriteria ‘pemimpin yang baik’ menurut mereka.
Intinya, semua pada heboh mencari orang yang tepat menduduki Sumut 1.
Apapun yang dilakukan para calon, lembaga survei dan
para tokoh-tokoh ini, semua diserahkan kepada masyarakat. Masyarakatlah yang
menjadi penentu siapa yang berhak menjadi orang nomor satu di Sumut.
Namun ironisnya, kecenderungan penilaian masyarakat di
seluruh Indonesia terhadap calon-calon yang selama ini terpilih masih
berdasarkan uang. Akibatnya, banyak mereka yang terpilih dan menjadi kepala
daerah di seluruh kab/kota se Indonesia saat ini belum tentu yang terbaik sesuai yang diharapkan masyarakat.
Inilah seharusnya yang dipikirkan para tokoh
masyarakat, agama dan pendidikan itu. Yakni, merubah pemikiran masyarakat agar
masyarakat yang kita cintai ini tidak lagi memilih pemimpin berdasarkan uang,
tapi memilih pemimpin berdasarkan iman dan taqwa kepada Tuhan serta sikap dan
perilakunya.
Memang tidak mudah mendidik masyarakat kita untuk
berpolitik dengan benar ditengah kemiskinan yang mereka rasakan. Makanya,
masyarakat kita kecenderungan siap menerima ‘serangan fajar’. Enggak terpikirkan
lagi oleh mereka, siapa yang pantas dan layak menjadi gubernur. Yang
terpikirkan mereka hanyalah cara memberi makan anak-anaknya esok hari. Akibatnya,
pemikiran pragmatis dengan menerima uang untuk memilih salah satu calon pun
terpaksa dilakukan.
Inilah tugas kita bersama, memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat menengah ke bawah untuk menyiapkan mental mereka pada pemilu nanti. Memang sih banyak yang orang demonstrasi dan berteriak 'No Money Politics' saat jelang pilkada. Tapi, apa bisa dipastikan mereka yang berdemo itu anti politik uang? (Hanya Tuhan yang tahu)
Untuk itu, perlu kita ingat, kecenderungan para calon
kepala daerah yang sudah mengeluarkan modal besar pada saat pemilihan, akan berusaha
untuk membalikkan modalnya terlebih dulu dengan beragam cara. Makanya tak
heran, saat ini gubernur, walikota dan sebagainya yang katanya pilihan rakyat
itu banyak mendekam di penjara. Mudah-mudahan tidak ada lagi kepala daerah dan
anggota dewan di Sumut menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Amin